Cesc Fàbregas adalah pemain yang sepanjang kariernya terbiasa main di tim yang serius: Arsenal, Barcelona, Chelsea. Tapi, siapa sangka, akhir perjalanannya justru membawa dia ke Como, sebuah klub yang sebelum 2017 bahkan hampir nggak bisa bayar listrik stadionnya sendiri.


Kisah Como ini bisa dibilang contoh bagaimana sepak bola modern makin nggak bisa lepas dari yang namanya uang. Klub ini dulu cuma klub kecil di Serie D, lalu tiba-tiba dibeli keluarga Hartono.
Bayangkan, klub yang bahkan nyaris nggak punya masa depan ini, sekarang dipegang oleh salah satu orang terkaya di dunia.
Tapi tenang, Como nggak serta-merta berubah jadi Manchester City KW Italia. Mereka tetap membangun tim dengan hati-hati.
Dennis Wise, mantan pemain Chelsea, dibawa masuk buat ngurusin operasional klub. Michael Gandler, eks orang kepercayaan Erick Thohir, juga ikut gabung buat beresin urusan finansial.
Lalu datanglah Fàbregas.
Awalnya, dia cuma mau main bola, tapi Como sadar, mereka butuh sosok ikonik buat mendongkrak citra klub. Jadi, mereka menawarkan sesuatu yang lebih dari sekadar kontrak bermain: saham.
Cesc, yang selama ini akrab dengan taktik ala Barcelona, sekarang mendadak harus belajar taktik bisnis.
Ketika Como promosi ke Serie B, dia sadar: "Oke, kayaknya gue bisa lebih dari sekadar pemain di sini." Akhirnya, dia pensiun dan langsung jadi pelatih Primavera (tim muda).
Seiring berjalannya waktu, Como makin naik level. Mereka beli pemain yang masuk akal, kayak Cutrone dan Verdi, bukan asal tabur uang buat bintang yang udah habis masa jayanya.
Stadion direnovasi, fasilitas dibangun, dan proyek ini makin terlihat nyata.
Tapi momen paling mengejutkan justru datang ketika Como memecat Moreno Longo, padahal dia baru saja membawa tim ke papan atas Serie B.
Seakan déjà vu dengan kejadian di Inter Milan dulu, ketika Gigi Simoni dipecat setelah menang lawan Salernitana.
Siapa yang ditunjuk jadi pelatih baru? Cesc Fàbregas.
Jadi sekarang, mantan pengumpan andalan Lionel Messi ini resmi memegang kendali Como. Dia mencoba menerapkan tiki-taka ala Catalan ke tim yang sebelumnya terbiasa main dengan gaya pragmatis.
Apakah bakal berhasil? Entahlah.
Tapi yang jelas, Como bukan lagi klub kecil yang bisa diremehkan. Mereka bukan sekadar klub yang kebetulan dipunyai miliarder, tapi klub yang benar-benar serius membangun sesuatu.
Karena kalau sepak bola modern mengajarkan sesuatu, itu adalah: tim yang punya uang banyak belum tentu sukses, tapi tim yang nggak punya uang? Pasti gagal.
Fàbregas dan Como: Dari Tiki-Taka ke Tik Tak Toe
Reviewed by Fajar Bintang
on
Juli 11, 2024
Rating:
Reviewed by Fajar Bintang
on
Juli 11, 2024
Rating:


Tidak ada komentar: