banner image

Bukan hanya babi, sepak bola juga pernah haram

Sepak bola dan agama, dua hal yang kelihatannya beda jalur, tapi entah bagaimana sering kali bersinggungan. Di beberapa negara, sepak bola bukan sekadar olahraga, tapi sudah jadi keyakinan. Lihat saja di Argentina, di mana seorang legenda, sebut saja Diego Maradona tidak sekadar dielu-elukan, tapi benar-benar disembah. 

Saking fanatiknya, ada yang sampai menganggapnya sebagai dewa, bahkan mendirikan “Gereja Maradona.” Kalau sudah begini, pertanyaannya bukan lagi apakah sepak bola bisa bermuatan agama, tapi lebih ke sejauh mana manusia bisa menjadikan pemain bola sebagai Tuhan. 

Kalau kita bicara sepak bola lokal, biasanya yang terlintas di kepala adalah fanatisme, rivalitas, dan momen-momen dramatis di lapangan. Tapi, siapa sangka, di Tangerang sepak bola pernah dianggap haram? Bukan karena ada unsur mistis atau karena ada yang main sambil baca mantra, tapi gara-gara suporter yang lebih sering baku hantam daripada baku peluk. 

Iya, pada suatu masa, MUI Kota Tangerang sempat mengeluarkan fatwa haram terhadap sepak bola. Ini bukan cerita fiksi atau konspirasi kaum anti-sepak bola, tapi kejadian nyata yang bikin banyak orang mengelus dada, bahkan sampai mengelus rumput stadion yang akhirnya terbengkalai. 

Dari Lapangan Hijau ke Ajang Tawuran 

Sebelum ada fatwa haram, Stadion Benteng di Tangerang dulunya adalah rumah bagi dua tim lokal: Persita Tangerang dan Persikota Tangerang. Tapi sayangnya, rumah ini lebih sering jadi ajang baku hantam ketimbang adu strategi sepak bola. 


Setiap kali ada pertandingan, suporter kedua kubu pasti mencari cara untuk bikin ribut. Entah itu adu mulut, saling lempar, atau bahkan berujung tawuran. Siapa yang main tidak penting, yang penting ribut! Kondisi ini bikin banyak pihak gerah, termasuk aparat kepolisian dan tentu saja MUI Kota Tangerang.

Bayangkan, pertandingan yang harusnya jadi hiburan malah jadi ajang baku hantam. Akhirnya, MUI Tangerang mengadakan pertemuan serius dengan berbagai pihak, termasuk kepolisian dan pengurus Persita serta Persikota. Hasilnya? Sebuah keputusan yang menghebohkan: MUI mengeluarkan fatwa haram untuk sepak bola di Tangerang. 

Dampak Fatwa Haram: Sepak Bola Mati, Rumput Subur 

Begitu fatwa ini keluar, efeknya langsung terasa. Polisi tidak lagi memberikan izin untuk semua pertandingan di Stadion Benteng. Kombes Wahyu Widada, Kapolres Metro Tangerang saat itu, terang-terangan menyatakan bahwa setiap laga di stadion selalu berujung tawuran dan bahkan menimbulkan korban jiwa. Stadion Benteng yang dulu penuh dengan teriakan suporter mendadak sepi. Tidak ada lagi pertandingan, tidak ada lagi suporter, tidak ada lagi gol yang dirayakan. 

Yang ada hanya rumput yang tumbuh liar, subur, dan akhirnya lebih sering dipakai buat pakan ternak. Begitulah nasib sepak bola di Tangerang. Dari arena olahraga, berubah menjadi padang penggembalaan. 

Fatwa yang Bertahan Bertahun-tahun 

Fatwa haram ini ternyata bertahan cukup lama. Bukan cuma satu atau dua tahun, tapi bertahan sampai hampir satu dekade! Berbagai pihak, terutama para penggemar sepak bola dan pemain lokal, mulai gerah. Salah satu yang paling vokal menentang fatwa ini adalah Firman Utina, legenda sepak bola Indonesia yang juga punya akademi sepak bola di Tangerang (FU 15 FA). Firman Utina dengan tegas bilang, “Sepak bola itu bukan haram! Kalau sepak bola haram, lalu anak-anak di SSB (Sekolah Sepak Bola) mau ke mana?" Ia juga menambahkan bahwa keberadaan Persita dan Persikota justru penting untuk memotivasi anak-anak muda agar berprestasi di dunia sepak bola. Bukan malah dimatikan dengan fatwa. 

Akhirnya, Sepak Bola Tangerang Bangkit Lagi 

Setelah bertahun-tahun vakum, akhirnya pada 20 Februari 2018, MUI Kota Tangerang mencabut fatwa haram tersebut. Para fans sepak bola Tangerang pun bisa bernapas lega. Persita dan Persikota kembali bisa bermain di kandangnya sendiri. Stadion Benteng yang tadinya lebih cocok jadi ladang peternakan, akhirnya mulai hidup lagi. 

Tapi, kisah ini masih menyimpan satu plot twist. Pada 23 Oktober 2019, MUI Kota Tangerang tiba-tiba membuat klarifikasi bahwa mereka sebenarnya tidak pernah mengeluarkan fatwa haram terhadap sepak bola. 

Loh, loh, loh, terus selama ini kita ribut karena apa? 

Menurut surat klarifikasi MUI bernomor C.218/XI-05/SR/X/2019, pernyataan bahwa sepak bola dilarang di Tangerang bukanlah fatwa resmi, melainkan hanya sekadar pernyataan dari Ketua MUI saat itu. Jadi, selama bertahun-tahun, sepak bola Tangerang terkatung-katung gara-gara pernyataan yang dianggap sebagai fatwa. Sungguh sebuah drama sepak bola yang tidak kalah dari telenovela. 

Pelajaran dari Fatwa Haram Sepak Bola 

Dari kisah ini, kita bisa menarik beberapa kesimpulan, Sepak bola memang bisa bikin orang kehilangan akal sehat.Saking fanatiknya, suporter bisa lupa bahwa sepak bola harusnya tentang persaingan yang sehat, bukan ajang tawuran. Peran aparat dan otoritas sangat penting. 

Kalau dari awal keamanan sudah bisa dikendalikan, mungkin kita tidak akan sampai pada titik di mana sepak bola dianggap haram. Komunikasi itu penting. Kalau sejak awal MUI menegaskan bahwa itu hanya pernyataan, mungkin drama ini tidak akan berlarut-larut bertahun-tahun. Pada akhirnya, kisah fatwa haram sepak bola di Tangerang ini bisa jadi pengingat bahwa sepak bola harus tetap menjadi hiburan, bukan malah jadi sumber permusuhan. Dan tentu saja, stadion harus tetap jadi tempat sepak bola, bukan tempat menggembalakan sapi.
Bukan hanya babi, sepak bola juga pernah haram Bukan hanya babi, sepak bola juga pernah haram Reviewed by Fajar Bintang on Mei 01, 2020 Rating: 5

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.